Teks Tanggapan Kritis merupakan
teks yang dibuat untuk menanggapi suatu pendapat dari seseorang maupun kelompok
secara kritis dan masuk akal. Sebelum memberikan tanggapan kritis, kita harus
memahami dulu fakta atau hal yang kita tanggpi. Tanggapan kita dapat menguatkan
atau melemahkan pendapat yang ada di dalam teks yang ditanggapi. Bahkan, kita
bisa menolak pandangan dan gagasan dalam artikel itu melalui alasan yang
mendukung data akurat. Pandangan-pandangan itu kita tulis dengan dasar dan
referensi yang tepat agar tidak menjadi sebuah tanggapan yang tidak dapat
diterima orang lain.
STRUKTUR TEKS
1.
-Evaluasi, merupakan bagian awal teks yang berisi
pernyataan umum tentang apa persoalan yang disampaikan penulis. Evaluasi sama
dengan pernyataan umum pada teks eksposisi (pelajaran kelas 7 Kurtilas).
2.
-Deskripsi teks, merupakan bagian tengah teks
yang berisi informasi tentang alasan yang mendukung dan yang menolak
pernyataan.
3.
-Penegasan ulang, merupakan bagian akhir teks
yang berisi tentang penegasan ulang terhadap apa yang sudah dilakukan dan
diputuskan.
UNSUR KEBAHASAAN
a)
Ungkapan tanggapan yang menguatkan atau
menyetujui pemikiran penulis atau pelempar gagasan
1)
Ide tersebut sangat tepat
2)
Pendapat yang dikemukakan penulis sangat tepat
3)
Saya sependapat dengan hal itu
b)
Ungkapan tanggapan yang menolak atau tidak
menyetujui pemikiran penulis
1)
Tentu pandangan-pandangan itu dapat terbantahkan
2)
Pendapat yang penulis ungkapkan tidak
berdasarkan fakta
3)
Saya tidak sependapat dengan hal itu
c)
Ungkapan tanggapan yang mengungkapkan sudut
pandang orang lain
1)
Dia mengatakan bahwa...
2)
Dia berpendapat bahwa...
3)
Penulis menyatakan bahwa...
d)
Ungkapan tanggapan yang menggambarkan simpulan
dari data orang lain
1)
Data yang disajikan menunjukkan bahwa...
2)
Simpulan dari tulisan itu menunjukkan bahwa...
3)
Dari data yang dihasilkan dapat disimpulkan
bahwa...
e)
Ungkapan tanggapan yang menggunakan gaya
bahasa/majas penghalusan
1)
Saya setuju dengan pendapat itu, tapi...
2)
Data yang dikumpulkan sudah cukup lengkap,
tetapi...
3)
Secara umum saya sepakat dengan penulis, tetapi
saya mempunyai landasan berpikir sendiri dalam hal itu.
f)
Ungkapan taanggapan yang menggunakan kata
bilangan atau urutan informasi
1)
Alasan pertama adalah...
2)
Alasan kedua dapat dikemukakan bahwa...
3)
Dasar berikutnya sebagai penguat pendapat saya
adalah...
Contoh Teks Tanggapan Kritis
Tanggapan Kritis Artikel "Sukses Berantas Prostitusi
- - - Desa Pakraman Bukti kini Berjuan Entaskan Warga Dari Kemiskinan
(sumber : http://fasyasblog.blogspot.co.id/)
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di dalam artikel tersebut bahwa dulunya desa Pakraman
Bukti merupakan “sarang pelacuran” dan salah satu desa dengan tingkat
kemiskinan terparah di Buleleng. Awalnya penduduk desa Pakraman Bukti berjuang
memberantas stigma negatif yang telah melekat terhadap desanya, yaitu sebagai
“sarang pelacuran”. Sebelum adanya pemberantasan “sarang pelacuran” tersebut,
penduduk setempat merasa sangat malu dengan identitasnya sebagai masyarakat
Pakraman Bukti. Perjuangan tersebut sangatlah berat, mulai dari pendekatan
personal, yang tak sepenuhnya berhasil, hingga mengadakan paruman desa yang
menghasilkan bentuk awig-awig yang baru.
Awig-awig
adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang
umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku
sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan.
Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh
masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang
hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19)
Contoh
di atas, yang terjadi pada masyarakat desa Pakraman Bukti, memperlihatkan
kepada kita bahwa terjadinya perubahan sosial (social changes), dari
masyarakat yang dulunya masih menganut nilai-nilai kepercayaan yang
terinternalisasi kepada setiap individu di dalamnya menjadi masyarakat yang
tidak lagi taat pada nilai-nilai tersebut. Yang pada akhirnya masyarakat adat
desa Pakraman Bukti berupaya untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut agar
dapat menjaga sistem kultural yang telah ada secara turun temurun dan wajib
ditaati oleh setiap masyarakatnya.
Menurut Larson dan Rogers, dalam
melihat perubahan sosial, merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam
suatu bentangan waktu dan berkaitan dengan adopsi teknologi. Mereka melihat ada
tiga tahapan utama dalam proses perubahan sosial. Pertama, berawal dari
diciptakannya atau lairnya sesuatu, misalnya cita-cita atau kebutuhan, yang
berkembang menjadi gagasan (idea, concept) yang baru. Bila gagasan itu
sudah menggelinding seperti roda berputar pada sumbunya dan tersebar di
masyarakat. Proses itu pun sudah mulai memasuki tahapan kedua. Tahapan ketiga
disebut hasil (results, concequences) yang merupakan perubahan yang
terjadi dalam suatu sistem sosial akibat diterima atau ditolaknya suatu
inovasi. Perubahan sosial dapat meliputi perubahan sikap, pengalaman, persepsi
masyarakat, dan bahkan merupakan refleksi dari perubahan yang terjadi dalam
struktur masyarakat.
Secara berbeda, Selo Soemardjan
(1964) cenderung melihat perubahan sosial sebagai proses yang berkembang dari
pranata-pranata sosial. perubahan tersebut akan memengaruhi sistem sosial,
adat, sikap, dan pola perilaku dalam masyarakat. Jika perubahannya besar, akan
membawa pada kehidupan sosial dan ekonomi baru di masyarakat. Dapat
dicontohkan, pengaruh westernisasi dan modernisasi mempengaruhi perubahan
persepsi, sikap dan perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia, pada umumnya.
Masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap nilai-nilai dari kebudayaan barat
adalah suatu yang bersifat modern dan masa kini. Dapat dilihat dari cara berpakaian,
mengenakan celana dan jaket jeans, cara berinteraksi, mulai menggunakan
istilah-istilah asing, dan cara berperilaku masyarakat Indonesia, mulai tidak
mengenal batasan umur dalam berperilaku. Contoh tersebut hanya berupa gambaran
umum perubahan-perubahan kultur yang terjadi di Indonesia, masih sangat banyak
contoh kasus yang lainnya.
Perubahan sosial merupakan suatu
gejala yang wajar (natural) yang timbul sebagai buah dari pergaulan
hidup manusia. Sama halnya dengan yang terjadi di desa Pakraman Bukti di Bali.
Pada awalnya masyarakat desa Pakraman Bukti merupakan suatu desa adat yang
sangat taat terhadap nilai-nilai yang telah mereka anut secara turun-temurun.
Mereka selalu mengerjakan ibadah di pura-pura dengan penuh keyakinan. Ibadah
yang mereka lakukan merupakan simbol bahwasanya mereka ingin menunjukkan rasa
terima kasih kepada Tuhan terhadap daerah Pakraman Bukti yang merupakan salah
satu daerah pariwisata yang dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun asing.
Seiring dengan berjalannya dengan
semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke Bali membuat perubahan kultural
bagi masyarakat setempat, yang dulunya mematuhi dan taat kepada nilai-nilai
yang ada kini ketaatan dan kepatuhannya sudah agak berkurang. Akibat memudarnya
nilai-nilai yang mereka anut sebelumnya, perubahan sosial yang sangat terlihat
pada masyarakat Bali pada umumnya adalah semakin banyaknya tempat-tempat
hiburan yang digunakan sebagai tempat “pemuas nafsu” bagi para pria hidung
belang, tak terkecuali di desa Pakraman Bukti. Merambahnya industri “bordil” di
Bali menunjukkan bahwa masyarakat Bali telah mengalami perubahan sosial, baik
itu struktural maupun kultural.
Desa Pakraman Bukti sebagai wujud
nyata terjadinya perubahan tersebut. Di dalam artikel yang diterbitkan oleh
Balipost, Senin, 31 Desember 2007, menjelaskan bahwa warga desa Pakraman Bukti
merasa malu menyebutkan identitas aslinya, sebagai masyarakat Pakraman Bukti.
Karena, desa itu dulunya dikenal sebagai desa yang memiliki banyak pondok kecil
di pinggir jalan atau di tengah kebun yang menyediakan wanita-wanita pemuas
nafsu lelaku. Selain itu, keberadaan “pondok prostitusi” membuat warga lain
merasa terganggu. Karena, para lelaki hidung belang masih berseliweran dengan
suara motor yang cukup keras dan juga keributan antar pemuda yang dipicu oleh
minuman keras.
Dari kedua peristiwa di atas, maka
muncullah cultural conflict, konflik kebudayaan yang menyebar ke
berbagai tatanan sosial di pedasaan yang terjadi akibat relatifnya budaya dan
canggihnya teknologi komunikasi. Namun, dalam peristiwa di atas cultural
conflict lebih cenderung terjadi akibat relativitas budaya dari
masyarakat Pakraman Bukti. Relativitas budaya merupakan suatu paham bahwa
setiap individu dalam memahami kebudayaan lain harus dibekali dengan sikap
keterbukaan dan toleransi. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat desa
Pakraman Bukti tidak mampu menghalau cepatnya proses westernisasi, yang berasal
dari turis-turis asing, yang mengakibatkan masyarakat desa Pakraman Bukti tidak
memiliki suatu pegangan nilai yang kuat, atau mengalami suatu keadaan yang anomie.
Di dalam keadaan yang tidak memiliki suatu pegangan nilai yang kuat, masyarakat
desa Pakraman Bukti pun terbawa oleh nilai-nilai dari kultur masyarakat barat.
Menanggapi perubahan sosial yang
cenderung negatif yang terjadi di desa, beberapa pejabat desa adat mulai
memikirkan cara untuk memberantas “sarang pelacuran” tersebut. Pejabat desa
adat mendapatkan cara memberantas sarang pelacuran dengan menuangkan
peraturan-peraturan baru di dalam awig-awig, merevisi awig-awig sebelumnya
dengan tujuan untuk melengkapi peraturan-peraturan yang belum ada. Peraturan
tersebut berisi, jika seorang warga setempat membawa orang dari luar
selama 2 x 24 jam maka warga desa yang mengajak dan diajak wajib melapor ke
klien desa pakraman. Jika tidak melapor dan kepergok maka yang bersangkutan
harus membayar denda Rp. 100.000,-. Jika yang bersangkutan mengulangi kesalahan
yang sama untuk kedua kalinya maka dendanya lebih banyak lagi, yakni Rp.
250.000,-. Dan, jika warga mengulangi kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya,
sanksinya bukan lagi berupa uang, namun lebih berat lagi. Warga tersebut akan
kasepekang (dikucilkan). Jika kesalahan untuk keempat kalinya, maka warga itu
dikenai sanksi karonaya (diusir) dari desa. Penerapan peraturan baru tersebut
awalnya cukup sulit. Namun dengan didukung oleh warga pakraman yang lain, maka
peraturan itu bisa diterapkan sehingga prostitusi bisa diberantas dan tidak
bisa tumbuh lagi di desa itu.
Dengan diterapkannya awig-awig
baru di dalam sistem kultural masyarakat desa Pakraman Bukti memperlihatkan
bahwa terjadinya perubahan sosial dalam dimensi kultural yang lebih bersifat
integratif. Sebagaimana dengan pengertian integrasi itu sendiri, yaitu
perubahan sosial yang ditandai dengan adanya penolakan terhadap bentuk-bentuk
baru, duplukasi, cara hidup lama dan baru bersama-sama dalam variabel
pola-pola, penggantian dan modifikasi bentuk-bentuk lama dengan bentuk-bentuk
baru.
Perubahan sosial yang terjadi di
desa Pakraman Bukti, setelah adanya awig-awig mengenai prostitusi, dapat
dijelaskan melalui pendekatan perubahan sosial yang dikemukakan oleh Selo
Soemardjan yang cenderung melihat perubahan sosial sebagai proses yang
berkembang dari pranata-pranata sosial. Perubahan tersebut akan mempengaruhi sistem
sosial, adat, sikap, dan pola perilaku dalam masyarakat.
Sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya, awig-awig merupakan peraturan yang mengikat setiap warga dari suatu
desa adat. Setiap orang wajib mengikuti peraturan-peraturan yang ada di dalam awig-awig.
Jika terdapat warganya yang tidak mematuhi peraturan tersebut, maka ia akan
mendapatkan sanksi adat sesuai dengan yang terdapat di dalam awig-awig. Sama
halnya seperti awig-awig yang mengatur tentang prostitusi yang terjadi di
masyarakat desa Pakraman Bukti. Awig-awig tersebut menyerukan kepada setiap
warganya agar tidak menjalankan praktik prostitusi. Karena, praktik prostitusi
yang terjadi di desa Pakraman Bukti merupakan aib bagi keseluruhan warga. Wajar
bila pemuka-pemuka adat desa membuat awig-awig baru agar menjaga sistem
kultural yang ada di desa yang sesuai dengan yang ada sebelumnya. Dengan
harapan, awig-awig tersebut mampu mengitegrasikan setiap warganya menjadi warga
desa Pakraman Bukti yang lebih baik daripada sebelumnya.
Sumber : Buku Bahasa
Indonesia Wahana Pengetahuan Kelas IX
No comments:
Post a Comment
Silahkan dikomentari Pos Kami :) ~ Admin